• Jelajahi

    Copyright © BERITA BARU | BERITA BISNIS INDONESIA HARI INI
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Advertisement (Left)

    Soeharto Layak Jadi Pahlawan? Sejarah dan Luka Bangsa Belum Sembuh

    BERITA BARU
    Senin, 27 Oktober 2025, 09:57 WIB Last Updated 2025-10-27T02:57:37Z

    BERITA BARU | JAKARTA — Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mengguncang ruang publik. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa secara hukum, Soeharto memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.

    "Kalau secara yuridis formal, memenuhi syarat," ujarnya.

    "Sudah jadi presiden itu kan sudah pasti memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Tapi silakan saja, masyarakat juga yang nanti menilai," imbuhnya.

    Menurut Mahfud, status sebagai presiden sudah cukup menjadi bukti bahwa tokoh tersebut memenuhi kriteria kepahlawanan dari sisi hukum. Ia juga menjelaskan, pengusulan gelar dilakukan oleh tim khusus di Kementerian Sosial dan dikoordinasikan bersama Menkopolhukam.

    Ketika Pahlawan Ditentukan oleh Kekuasaan


    Pernyataan Mahfud MD itu memicu perdebatan tajam di ruang publik. Apakah kepresidenan secara otomatis membuat seseorang layak disebut pahlawan?

    Bagi sebagian rakyat, terutama mereka yang hidup di masa Orde Baru, pertanyaan itu terasa getir. Sebab nama Soeharto tidak hanya lekat dengan “pembangunan”, tetapi juga dengan represi politik, korupsi sistemik, dan pelanggaran HAM yang membekas puluhan tahun.

    Pertanyaan moral pun mencuat:

    Apakah jabatan tertinggi negara otomatis menghapus luka sejarah dan dosa sosial di masa kekuasaan?

    Ataukah, sebagaimana dikatakan kaum kiri, negara sedang berusaha memutihkan sejarah dan mengabadikan kekuasaan sebagai kebenaran?

    Jejak Tuduhan dan Luka Sejarah Kekuasaan

    Soekarno dijatuhkan dengan tuduhan terlibat G30S/PKI yang tak pernah terbukti secara hukum. Ia dijatuhkan bukan karena bersalah, tapi karena menentang imperialisme ekonomi dan politik. Tuduhan yang tak terbukti itu justru mengokohkan Bung Karno sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi modal dan militerisme global.

    Soeharto, penerusnya, berkuasa 32 tahun dengan janji stabilitas dan pembangunan. Namun di balik statistik ekonomi, terhampar luka-luka rakyat kecil: tanah dirampas, kebebasan dibungkam, dan korupsi dijadikan sistem.

    Jika tuduhan-tuduhan itu terbukti, maka pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya bukan penghormatan, melainkan penghianatan terhadap memori bangsa.

    Namun jika tidak terbukti secara hukum, maka sejarah tetap berhak bertanya - mengapa kebenaran hukum sering kali lahir dari kompromi politik, bukan dari nurani keadilan?

    Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi: Di Antara Tuduhan dan Narasi Kekuasaan

    Habibie dituding dalam kasus Bali Gate, meski tak terbukti. Ia justru dikenang sebagai teknokrat demokratis yang mewariskan kebebasan politik setelah tiga dekade tirani.

    Gus Dur dijatuhkan melalui tuduhan Bulog Gate dan Brunei Gate yang rapuh. Sejarah kini menilai, pemakzulan itu hanyalah kudeta politik terhadap seorang pemimpin yang mencoba memulihkan martabat kemanusiaan dan memberantas oligarki.

    Megawati terseret isu SKL BLBI yang memberi kelonggaran pada konglomerat besar. Jika tuduhan itu benar, nasionalisme ekonominya perlu dievaluasi. Jika tidak, maka ia menjadi korban dari sistem ekonomi yang telah lama dikuasai elit kapital.

    SBY dihantui kasus Bank Century dan Hambalang, simbol dari moralitas politik yang tergerus oleh pencitraan.

    Jokowi menghadapi Ijazah Gate dan kontroversi proyek Whoosh. Jika terbukti ada penyimpangan, maka proyek-proyek infrastruktur itu hanya menjadi monumen kapital - megah tapi asing dari rakyat yang seharusnya dilayani.

    Kajian Ideologis: Antara Pahlawan dan Penguasa

    Dalam sebuah pandangan, pahlawan sejati bukan mereka yang berkuasa, melainkan mereka yang melawan kekuasaan demi keadilan sosial. Kekuasaan, jika tak diawasi oleh moral rakyat, cenderung menulis sejarah dengan tinta kepalsuan.

    Maka ketika Mahfud MD menyebut “semua mantan presiden otomatis memenuhi syarat kepahlawanan”, pertanyaan kritisnya bukan sekadar legal, tetapi ideologis:
    Apakah hukum di negeri ini bekerja untuk kebenaran, atau untuk melanggengkan citra para penguasa?

    Sejarah Bukan Milik Pemenang, Tapi Milik yang Diperjuangkan


    Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, jika benar terjadi, akan menjadi bab baru dalam sejarah pengingkaran terhadap penderitaan rakyat. Ia akan menunjukkan bahwa di negeri ini, penguasa lebih mudah dimaafkan daripada rakyat yang melawan.

    Pahlawan sejati tidak lahir dari jabatan, tetapi dari keberpihakan. Dan hingga bangsa ini berani menegakkan keadilan sosial di atas ingatan yang jujur, maka gelar “pahlawan” akan tetap menjadi milik mereka yang berjuang, bukan mereka yang berkuasa.(*)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini